Café de Flore
“Capuccino
” kata Nino singkat memesan kopi
“Tunggu
sebentar ” ujar si pelayannya. Setelah Nino memberinya uang lima puluh ribuan.
Nino
tersenyum manis. Dia menunggu kopinya sambil terus memandangi hujan, dia
sengaja memilih duduk tepat dimeja paling depan, café dengan desain elegan, serba kayu
serba coklat, meja dan kursi nyaman, bagian tengah café dengan kursi kayu
coklat dengan bantal kursi senada, sedangkan bagian luar café dengan ruangan terbuka ini, dengan sofa
coklat empuk yang biasanya di tempati oleh orang-orang penikmat Online jangka
panjang. Nino memilih duduk di sofa luar walaupun dengan tujuan lain, supaya
bisa melihati orang yang lalu lalang
dengan payung warna-warni, ekspresi lucu mereka yang gemes dengan
hujan yang tak kunjung berhenti selama beberapa hari.
Dia, gadis periang ditengah hujan
gerimis, Gadis yang satu-satunya tersenyum manis bahkan dicuaca yang membuat
hampir sebagian orang selalu merasa ngantuk, malas untuk bergerak, menikmati
ringkukan dalam selimut yang hangat, hal yang sebelumnya selalu dirasakan Nino.
Semua berubah seminggu yang lalu.
“Nino, gue mau keluar nih jalan,
temenin dong” kata Fanya sepupu Nino yang baru datang dari Sebatik, Kalimantan
nan jauh terpencil disana, yang menurut Nino disana pasti hutan semua, yang akan
dibantah habis-habisan oleh Fanya.
“disana tuh gak terpencil Nino
gejeee (GJ: gak jelas) cuman terbatas aja”
“Lahh terpencil dan terbatas itu gak
beda jauh kali” sanggah Nino sambil merangkul adik sepupunya itu dengan gemas.
“setidaknya disana gue masih bisa
ngerasain udara bersih.” Balasnya tidak mau kalah.
Nino paling suka mengganggu sepupunya yang satu ini, Fanya, yang sekarang memilih mengajar di Sebatik
sebagai guru Bahasa Inggris di salah satu SMP disana, tubuhnya yang mungil
membuat Nino paling suka merangkulnya dan mengacak-acak Jilbabnya yang setengah
mati diperbaiki Fanya.
“Ninooo, gue udah cantik-cantikk
gini, kenapa sih lu suka banget ngacak Jilbab gue.” Protesnya sambil
memperbaiki Jilbabnya, Nino malah ngakak melihat sepupunya itu, Fanya yang
selalu seperti adik kecilnya yang baginya tak pernah berubah.
Pukul 04.00 mereka melucur
meninggalkan rumah Nino dikawasan rumah elite makassar.
“Café de Flore” ujar Nino pelan. “Dek, Ngapain sih ke Café, katanya mau
jalan, kok malah mau nongkrong, kalo mau ngopi mah dirumah aja, nanti gue
bikinin kopi.” Sambungnya panjang lebar, walaupun ada nada protes dalam
ucapannya, dia tetap memarkir mobilnya depan café
“mau nyobain kopi disini, lama gue gak ngopi
disini” katanya sambil turun dari mobil mengabaikan protes Nino.
“tuh kan gue bilang apa, sebatik itu
terpencil.” kata Nino, mulai mengejek sepupunya itu, yang disambut pandangan
melotot yang sebentar lagi akan diiringi tinjuu kecil Fanya.
Nino duduk didepan Fanya, yang
memilih meja paling depan cafe, memandang terdiam terpaku kedepan.
“Liat apa sih?.”
“Nggak, Liat deh, orang-orang yang
lewat itu, lucu-lucu ekspresinya.” Nino
menunjuk kearah pejalan kaki diluar café. Gerimis yang menghiasi kota Makassar
hamper tiap sore, membuat orang cenderung malas beraktifitas, jalan- jalan
trotoar dipenuhi pejalan kaki yang harus berjalan kaki untuk keluar dari
kantornya untuk mencari taksi atau angkutan umum, hujan membuat mereka ngedumel
dalam hati berharap hujan akan turun saja saat mereka tiba dirumah
masing-masing. Lucu.
“pasti lu gak pernah kehujanan kan
kayak mereka, lo kan kemana-mana naik mobil.”
“heheh tau aja.”
“coba loe sekali-sekali jalan kaki,
keluar, rasain yang namanya kehujanan, rasain namanya dongkol gara-gara hujan
tapi lo gak bawa payung.”
Si pelayan membawa dua cangkir kopi,
cangkir Nino bulat besar dengan cream putih di atasnya, sedang Fanya sedikit
lebih ramping dari gelas Nino.
“cappuccino dan caffe latte”
“punya gue kenapa Cappuccino?” kata
Nino
“cocok buat lu,” jawab Fanya sambil
menyeruput kopinya.
“cocok?”
“karakter loe sesuai dengan
Cappucinno itu.”
“hahah sotoy.” Ujarnya singkat
sambil menyeruput kopinya sedikit, lalu menyeruputnya kembali lebih
menikmatinya.
“iaa kan,lo pasti suka cappucinno, cappuccino
itu perfeksionis, tapi cepat bosan”
“emang gue kek gitu”
“gakk nyadarr.”
Nino meringis.
Nino termasuk bukan penikmat kopi yang harus nongkrong dicafe hanya
untuk menikmati secangkir kopi, tapi something
changed, a little things made it changed.
“see,
u falling love with your coffee .” Kata Fanya memandangi Nino.
“yeahh,
and fall in love with this rain too.” Ucap Nino sambil tersenyum menatap kedepan,
senyum misterius yang tak disadari Fanya, Nino menikmati Kopinya.
Hari ini hujan turun lagi, walaupun
tak sederas hujan yang turun saat matahari bersiap-siap muncul tadi pagi hari.
Ivy memasang jaket berbahan parasutnya,
melangkah dengan tenang menuju halte, meninggalkan kantornya, mengangkat tangannya
menghadap kelangit seolah-olah ingin menampung hujan yang jatuh berirama di
telapak tangannya, melangkah dengan senyum menikmati hujan di sore itu.
“Vy,” seseorang menepuk bahunya dari
belakang, hujan tiba-tiba berhenti jatuh ditangannya. Sebuah payung hitam
berdiri tegak di atas kepalanya.
“Gina, gue piker siapa,” Ivy
menurunkan tangannya.
“demen banget sih non, main hujan.”
Gina mengimbangi jalan Ivy, dengan payung di tangan kanannya.
“hehe,, Iaa nih, hahah, aneh yahh.”
“ia lah aneh, cuman kamu yang
senyum-senyum sambil hujan-hujanan disini,” Gina menunjuk kearah orang-orang
sekitarnya dengan dagunya.
Ivy melihat mereka dengan senyum
tersipu,”itu karna mereka tidak tahu menikmati hujan,”
Sebuah mobil berhenti disamping
mereka, Gina pamit kepada Ivy, Gina menawarkan Payung yang dia punya kepada
Ivy, namun Ivy menolaknya sopan, Gina naik ke mobilnya dan Ivy kembali
menikmati hujannya. Tanpa disadari seseorang pun “menikmatinya” dari jauh.
Setelah hampir dua minggu Fanya di
Makassar, Lusa dia akan kembali ke asalnya, Sebatik, dan dia baru tiba dari kampong
halamannya hari ini, Fanya aslinya dari Soppeng, dia mengunjungi kakek dan
nenek dari ibunya disana.
“tante, mana Nino?” aksen Makassar
Fanya keluar saat berbicara dengan tantenya, mungkim karena tantenya juga
berlogat jadinya dia ikut berlogat.
“tadi keluarki nak, naik motor, ndak
tau kenapa berapa hari mi ini naik motor terus keluarnya, padahal selalu hujan
kalau sore,”kata mamanya Nino panjang lebar.
Fanya tertegun meneguk air minumnya,
“Naik Motor?” Kata Fanya dalam hati, “selalu keluar sore tante?” tanyanya mulai
heran.
“iyee, kalau kekampus dia naik mobil
ji,” aksen mama Nino yang khas Makassar, yang selalu menambahkan JI di belakang
katanya.
“Ohh, iaa palee tante, saya
istirahatmi dulu, nanti kalau datang Nino, Tanya kalau datang ka di’.” Kata
Fanya sopan sambil mencium pipit ante kesayangannya itu.
“ndak makan ki dulu nak”
“belum pa lapar tante masih mabokka”
Fanya, mabuk darat, perjalanan dari Soppeng – Makassar sekitar 4-5 jam membuat
Fanya masih mual, dia temasuk orang yang susah kemana-kemana, apalagi naik
mobil lama-lama, makanya kalau Fanya mudik ke Sulawesi, jetlagnya bisa
berhari-hari.
“Mamahh, ada obat Flu gak?” Ivy
keluar dari kamarnya dengan hidungnya yang memerah karna flu.
Mamanya yang sedari tadi menyiapkan
makan untuk makan malam, melihat kearah Ivy yang baru saja selesai mandi,” ada
dilemari obat, kenapa setiap pulang kau pasti selalu basah kuyup, dak bisa
tunggu hujan reda baru pulang kah,” kata mamanya panjang lebar,
“nda papa mamah, Cuma flu sedikit
ji,”Ivy mengambil air setelah menelan obat flu yang diambilnya dalam lemari
kecil yang tertempel di dinding.
“besok bawa payung nah”
Ivy hanya nyengir dan melanjut
menggosokkan handuk pada rambutnya “Ivy tidur ya mah”
“dan gue gakk pernah tuh nyesel atau
dongkol kalau kehujanan, gue nikmatin setiap tetes yang jatuh perlahan ke wajah
gue.” Setelah Fanya meminta penjelasan tentang alasannya selalu main hujan
akhir-akhir ini.
“trus ngapain loe disini, diluar
ujan tuh,” timpal Fanya, yang duduk manis depan Nino yang memandang pintu masuk
dari tadi.
Nino berbalik dengan mata tajamnya,”
diluar itu badai, bukan hujan.’
“gak akan ada yang datang di saat
badai, ngapain liat pintu terus,” ucap Fanya seakan mengeri apa yag ada di
pikiran Nino, “atau loe disini di samping gue, gak pegel tuh kepala?”
Nino tidak memperdulikan Fanya, malah
menatap pintu dan jam tangannya bergantian, “emang enak bicara sama tembok,”
Fanya memandang Nino datar.
“Eh loe ingat gak sama Vhia, temen
kita dulu yang naksir sama loe waktu semester awal, tapi loe dengan jailnya
nganggap rasa sukanya sebagai lelucon yang loe sebar sama genk loe itu.”
“sahabat loe yang ndut itu, kok gue
gak pernah ngeliat dia lagi” Nino berbalik dan bertopang dagu di meja dengan
muka manyun.
“ihhh, dia kan pindah ke Bandung,
setelah dibikin malu sama loe, gimana sih” wajah judes Fanya keluar.
“ya gue pikir itu cuman gossip.”
“Gosip apa, orang dia ngirimin loe
sms kok buat ketemu sama dia, tapi loe malah gak gubris dia, malah nongkrong
ngegosip kayak genk cewek aja”
“ihh loe lagi dapet yah, itu kan
udah lewat, kenapa tiba-tiba ngungkit itu sih.”
“karena kemarin gue ketemu di jalan,
makanya gue inget masalah itu, dan saat gue ketemu nanti loe harus minta maaf”
fanya menoyor kepala Nino dengar jari telunjuknya.
“iaaaa”
Vhia, sahabat lama Fanya, gendut
tapi cantik dan punya kepercayaan diri, tapi semua hancur lebur setelah orang
yang disukainya, menganggap lelucon perasaannya dan malah menjadikannya bahan
lelucon, hanya karena dia gendut.
Seseorang masuk ke dalam café,
seketika menyadari itu Nino berbalik dan melihat orang yang di tunggunya masuk
dalam keadaan basah untungnya kali ini dia memakai payung, wanita yang
didekatinya secara intensif selama beberapa hari ini, dan wanita yang di
mintanya datang ke café ini.
“Vhiaaaaaaaaaaa”
Sontak Nino berbalik kearah Fanya
yang tiba-tiba berteriak seperti orang utan, “Vhia?”
Mereka berdua berpelukan seperti
orang yang tidak bertemu berapa puluh tahun, Nino membeku menatap mereka
berdua, ada sesuatu yang di pikirannya, sesuatu yang ia coba
sambung-sambungkan, memorinya.
“Kemarin kita gak sempat cerita
banyak, tapi sekarang kita udah ketemuu, gue kangen banget sama loee” Ujar
Fanya berapi-api setelah menariknya duduk diantara dirinya dan Nino yang masih
duduk membeku, kali ini dengan wajah yang ekspresinya sulit ditebak.
“iaa, untungnya kemarin kita sempat
tukaran nomer hape, gue juga kangen banget sama loe, gimana kabar, udah nikah
belum?” kata wanita yang di kenal Nino sebagai Ivy, dan Vhia bagi Fanya lebih
antusias lagi.
“ahh, gak lah, gue ngajar sekarang
di Sebatik, pulang kesini karena lagi libur aja, loe sendiri gimana, kapan
balik kesini?”
Nino mendengar bagian ini lebih
antusias, siapa tau ada informasi penting yang menarik baginya.
“loe masih inget Nino kan ?” Fanya
melihat jahil kearah Nino, yang dipandang hanya bisa pura-pura menyeruput kopi
sambil memandang keluar café .
“gue yang manggil dia kesini”ucap
Nino, dalam hati. Tak mungkin ia mengeluarkan saat ini, yang dia harap hanya
bisa menjadi Hollow man yang tak terlihat.
“pasti, siapa yang bisa lupa pada
cinta pertamanya.” Ivy menjawab sambil tersenyum kearah Nino yang hamper
menyemburkan kopinya, “beberapa hari yang lalu dia ngedekatin gue sambil
hujan-hujanan dekat halte,”
“jujur amat sih nie orang” kata
Nino, dalam hati.
“ihh masih loe suka sama orang kek
dia,”
“penghianat.” timpal Nino lirih,
menyipitkan mata kearah Fanya, ada sengatan-sengatan listrik yang seang beradu
di antara mereka, hanya orang beriman yang tidak bisa melihatnya.
“gue mah ogah, udah dibikin malu”
“gak lah, gara-gara dia gue sadar
apa yang harus gue lakuin, meski dulu gue harus pindah karena harus ikut papa
pindah tugas.”
“see,” Nino tersenyum kecil.
“ih senyum, merasa dibela yah,” Nino
segera menarik jilbab Fanya dengan gemesnya, sebelum kejahilannya semakin
membuatnya hancur berkeping-keping menahan malu.
“bahas yang lain aja kenapa sih”
“jadi kamu Vhia?” Fanya sudah
pulang, dengan paksa. Nino mengirim sepupunya pulang dengan taksi dan sekarang
dia mengantar Vhia dengan mobilnya.
“aku bisa jadi apapun yag kamu mau,”
Vhia tersenyum jahil membuat Nino speechless
.
“kamu kuliah apa sih, kok pintar
banget nge gombal,”
“aku, hmm.. ada deh, hahaha.”
Nino menatap Vhia yang tersenyum
lepas di sampingnya.
“maafin aku tentang yang dulu, aku
gak bermaksud,,”
“maaf kenapa?”
“karena nganggap rasa suka mu hanya
lelucon.”
Vhia tersenyum sambil menatap ke
depan, “kadang kita harus berjuang untuk cinta kita, berubah menjadi yang lebih
baik demi orang yang kita suka sebenarnya kita lakukan untuk kebaikan kita
sendiri,” Vhia mengedipkan mata, membuat Nino semakin tak bisa berkata-kata.
“ohh jadi kamu diet sampai seperti
sekarang,bukan seutuhnya demi aku,” ucap Nino mencoba menenangkan hatinya yang
bergemuruh.
“iihhh gak lah, aku lakuin ini bukan
buat kamu, bukan buat aku tapibuat kita”
SKAKMAT
!!!