Jumat, 15 Agustus 2014

Aku, Kamu di antara Hujan



Café de Flore
            “Capuccino ” kata Nino singkat memesan kopi
            “Tunggu sebentar ” ujar si pelayannya. Setelah Nino memberinya uang lima puluh ribuan.
            Nino tersenyum manis. Dia menunggu kopinya sambil terus memandangi hujan, dia sengaja memilih duduk tepat dimeja paling depan, café dengan desain elegan, serba kayu serba coklat, meja dan kursi nyaman, bagian tengah café dengan kursi kayu coklat dengan bantal kursi senada, sedangkan bagian luar café  dengan ruangan terbuka ini, dengan sofa coklat empuk yang biasanya di tempati oleh orang-orang penikmat Online jangka panjang. Nino memilih duduk di sofa luar walaupun dengan tujuan lain, supaya bisa melihati orang yang lalu lalang dengan payung warna-warni, ekspresi lucu mereka yang gemes dengan hujan yang tak kunjung berhenti selama beberapa hari.
            Dia, gadis periang ditengah hujan gerimis, Gadis yang satu-satunya tersenyum manis bahkan dicuaca yang membuat hampir sebagian orang selalu merasa ngantuk, malas untuk bergerak, menikmati ringkukan dalam selimut yang hangat, hal yang sebelumnya selalu dirasakan Nino.
 Semua berubah seminggu yang lalu.
            “Nino, gue mau keluar nih jalan, temenin dong” kata Fanya sepupu Nino yang baru datang dari Sebatik, Kalimantan nan jauh terpencil disana, yang menurut Nino disana pasti hutan semua, yang akan dibantah habis-habisan oleh Fanya.
            “disana tuh gak terpencil Nino gejeee (GJ: gak jelas) cuman terbatas aja”
            “Lahh terpencil dan terbatas itu gak beda jauh kali” sanggah Nino sambil merangkul adik sepupunya itu dengan gemas.
            “setidaknya disana gue masih bisa ngerasain udara bersih.” Balasnya tidak mau kalah.
Nino paling suka mengganggu sepupunya yang satu ini, Fanya,  yang sekarang memilih mengajar di Sebatik sebagai guru Bahasa Inggris di salah satu SMP disana, tubuhnya yang mungil membuat Nino paling suka merangkulnya dan mengacak-acak Jilbabnya yang setengah mati diperbaiki Fanya.
            “Ninooo, gue udah cantik-cantikk gini, kenapa sih lu suka banget ngacak Jilbab gue.” Protesnya sambil memperbaiki Jilbabnya, Nino malah ngakak melihat sepupunya itu, Fanya yang selalu seperti adik kecilnya yang baginya tak pernah berubah.
            Pukul 04.00 mereka melucur meninggalkan rumah Nino dikawasan rumah elite makassar.
“Café de Flore” ujar Nino pelan. “Dek, Ngapain sih ke Café, katanya mau jalan, kok malah mau nongkrong, kalo mau ngopi mah dirumah aja, nanti gue bikinin kopi.” Sambungnya panjang lebar, walaupun ada nada protes dalam ucapannya, dia tetap memarkir mobilnya depan café
             “mau nyobain kopi disini, lama gue gak ngopi disini” katanya sambil turun dari mobil mengabaikan protes Nino.
            “tuh kan gue bilang apa, sebatik itu terpencil.” kata Nino, mulai mengejek sepupunya itu, yang disambut pandangan melotot yang sebentar lagi akan diiringi tinjuu kecil Fanya.
            Nino duduk didepan Fanya, yang memilih meja paling depan cafe, memandang terdiam terpaku kedepan.
            “Liat apa sih?.”
            “Nggak, Liat deh, orang-orang yang lewat itu, lucu-lucu ekspresinya.”  Nino menunjuk kearah pejalan kaki diluar café. Gerimis yang menghiasi kota Makassar hamper tiap sore, membuat orang cenderung malas beraktifitas, jalan- jalan trotoar dipenuhi pejalan kaki yang harus berjalan kaki untuk keluar dari kantornya untuk mencari taksi atau angkutan umum, hujan membuat mereka ngedumel dalam hati berharap hujan akan turun saja saat mereka tiba dirumah masing-masing. Lucu.
            “pasti lu gak pernah kehujanan kan kayak mereka, lo kan kemana-mana naik mobil.”
            “heheh tau aja.”
            “coba loe sekali-sekali jalan kaki, keluar, rasain yang namanya kehujanan, rasain namanya dongkol gara-gara hujan tapi lo gak bawa payung.”
            Si pelayan membawa dua cangkir kopi, cangkir Nino bulat besar dengan cream putih di atasnya, sedang Fanya sedikit lebih ramping dari gelas Nino.
            “cappuccino dan caffe latte”
            “punya gue kenapa Cappuccino?” kata Nino
            “cocok buat lu,” jawab Fanya sambil menyeruput kopinya.
            “cocok?”
            “karakter loe sesuai dengan Cappucinno itu.”
            “hahah sotoy.” Ujarnya singkat sambil menyeruput kopinya sedikit, lalu menyeruputnya kembali lebih menikmatinya.
            “iaa kan,lo pasti suka cappucinno, cappuccino itu perfeksionis, tapi cepat bosan”
            “emang gue kek gitu”
            “gakk nyadarr.”        
            Nino meringis.
Nino termasuk bukan penikmat kopi yang harus nongkrong dicafe hanya untuk menikmati secangkir kopi, tapi something changed, a little things made it changed.
            see, u falling love with your coffee .” Kata Fanya memandangi Nino.
            “yeahh, and fall in love with this rain too.”  Ucap Nino sambil tersenyum menatap kedepan, senyum misterius yang tak disadari Fanya, Nino menikmati Kopinya.

            Hari ini hujan turun lagi, walaupun tak sederas hujan yang turun saat matahari bersiap-siap muncul tadi pagi hari. Ivy  memasang jaket berbahan parasutnya, melangkah dengan tenang menuju halte, meninggalkan kantornya, mengangkat tangannya menghadap kelangit seolah-olah ingin menampung hujan yang jatuh berirama di telapak tangannya, melangkah dengan senyum menikmati hujan di sore  itu.
            “Vy,” seseorang menepuk bahunya dari belakang, hujan tiba-tiba berhenti jatuh ditangannya. Sebuah payung hitam berdiri tegak di atas kepalanya.
            “Gina, gue piker siapa,” Ivy menurunkan tangannya.
            “demen banget sih non, main hujan.” Gina mengimbangi jalan Ivy, dengan payung di tangan kanannya.
            “hehe,, Iaa nih, hahah, aneh yahh.”
            “ia lah aneh, cuman kamu yang senyum-senyum sambil hujan-hujanan disini,” Gina menunjuk kearah orang-orang sekitarnya dengan dagunya.
            Ivy melihat mereka dengan senyum tersipu,”itu karna mereka tidak tahu menikmati hujan,”
            Sebuah mobil berhenti disamping mereka, Gina pamit kepada Ivy, Gina menawarkan Payung yang dia punya kepada Ivy, namun Ivy menolaknya sopan, Gina naik ke mobilnya dan Ivy kembali menikmati hujannya. Tanpa disadari seseorang pun “menikmatinya” dari jauh.

            Setelah hampir dua minggu Fanya di Makassar, Lusa dia akan kembali ke asalnya,  Sebatik, dan dia baru tiba dari kampong halamannya hari ini, Fanya aslinya dari Soppeng, dia mengunjungi kakek dan nenek dari ibunya disana.
            “tante, mana Nino?” aksen Makassar Fanya keluar saat berbicara dengan tantenya, mungkim karena tantenya juga berlogat jadinya dia ikut berlogat.
            “tadi keluarki nak, naik motor, ndak tau kenapa berapa hari mi ini naik motor terus keluarnya, padahal selalu hujan kalau sore,”kata mamanya Nino panjang lebar.
            Fanya tertegun meneguk air minumnya, “Naik Motor?” Kata Fanya dalam hati, “selalu keluar sore tante?” tanyanya mulai heran.
            “iyee, kalau kekampus dia naik mobil ji,” aksen mama Nino yang khas Makassar, yang selalu menambahkan JI di belakang katanya.
            “Ohh, iaa palee tante, saya istirahatmi dulu, nanti kalau datang Nino, Tanya kalau datang ka di’.” Kata Fanya sopan sambil mencium pipit ante kesayangannya itu.
            “ndak makan ki dulu nak”
            “belum pa lapar tante masih mabokka” Fanya, mabuk darat, perjalanan dari Soppeng – Makassar sekitar 4-5 jam membuat Fanya masih mual, dia temasuk orang yang susah kemana-kemana, apalagi naik mobil lama-lama, makanya kalau Fanya mudik ke Sulawesi, jetlagnya bisa berhari-hari.

            “Mamahh, ada obat Flu gak?” Ivy keluar dari kamarnya dengan hidungnya yang memerah karna flu.
            Mamanya yang sedari tadi menyiapkan makan untuk makan malam, melihat kearah Ivy yang baru saja selesai mandi,” ada dilemari obat, kenapa setiap pulang kau pasti selalu basah kuyup, dak bisa tunggu hujan reda baru pulang kah,” kata mamanya panjang lebar,
            “nda papa mamah, Cuma flu sedikit ji,”Ivy mengambil air setelah menelan obat flu yang diambilnya dalam lemari kecil yang tertempel di dinding.
            “besok bawa payung nah”
            Ivy hanya nyengir dan melanjut menggosokkan handuk pada rambutnya “Ivy tidur ya mah”  
           
            “dan gue gakk pernah tuh nyesel atau dongkol kalau kehujanan, gue nikmatin setiap tetes yang jatuh perlahan ke wajah gue.” Setelah Fanya meminta penjelasan tentang alasannya selalu main hujan akhir-akhir ini.
            “trus ngapain loe disini, diluar ujan tuh,” timpal Fanya, yang duduk manis depan Nino yang memandang pintu masuk dari tadi.
            Nino berbalik dengan mata tajamnya,” diluar itu badai, bukan hujan.’
            “gak akan ada yang datang di saat badai, ngapain liat pintu terus,” ucap Fanya seakan mengeri apa yag ada di pikiran Nino, “atau loe disini di samping gue, gak pegel tuh kepala?”
            Nino tidak memperdulikan Fanya, malah menatap pintu dan jam tangannya bergantian, “emang enak bicara sama tembok,” Fanya memandang Nino datar.
            “Eh loe ingat gak sama Vhia, temen kita dulu yang naksir sama loe waktu semester awal, tapi loe dengan jailnya nganggap rasa sukanya sebagai lelucon yang loe sebar sama genk loe itu.”
            “sahabat loe yang ndut itu, kok gue gak pernah ngeliat dia lagi” Nino berbalik dan bertopang dagu di meja dengan muka manyun.
            “ihhh, dia kan pindah ke Bandung, setelah dibikin malu sama loe, gimana sih” wajah judes Fanya keluar.
            “ya gue pikir itu cuman gossip.”
            “Gosip apa, orang dia ngirimin loe sms kok buat ketemu sama dia, tapi loe malah gak gubris dia, malah nongkrong ngegosip kayak genk cewek aja”
            “ihh loe lagi dapet yah, itu kan udah lewat, kenapa tiba-tiba ngungkit itu sih.”
            “karena kemarin gue ketemu di jalan, makanya gue inget masalah itu, dan saat gue ketemu nanti loe harus minta maaf” fanya menoyor kepala Nino dengar jari telunjuknya.
            “iaaaa”
            Vhia, sahabat lama Fanya, gendut tapi cantik dan punya kepercayaan diri, tapi semua hancur lebur setelah orang yang disukainya, menganggap lelucon perasaannya dan malah menjadikannya bahan lelucon, hanya karena dia gendut.
            Seseorang masuk ke dalam café, seketika menyadari itu Nino berbalik dan melihat orang yang di tunggunya masuk dalam keadaan basah untungnya kali ini dia memakai payung, wanita yang didekatinya secara intensif selama beberapa hari ini, dan wanita yang di mintanya datang ke café ini.
            “Vhiaaaaaaaaaaa”
            Sontak Nino berbalik kearah Fanya yang tiba-tiba berteriak seperti orang utan, “Vhia?”
            Mereka berdua berpelukan seperti orang yang tidak bertemu berapa puluh tahun, Nino membeku menatap mereka berdua, ada sesuatu yang di pikirannya, sesuatu yang ia coba sambung-sambungkan, memorinya.
            “Kemarin kita gak sempat cerita banyak, tapi sekarang kita udah ketemuu, gue kangen banget sama loee” Ujar Fanya berapi-api setelah menariknya duduk diantara dirinya dan Nino yang masih duduk membeku, kali ini dengan wajah yang ekspresinya sulit ditebak.
            “iaa, untungnya kemarin kita sempat tukaran nomer hape, gue juga kangen banget sama loe, gimana kabar, udah nikah belum?” kata wanita yang di kenal Nino sebagai Ivy, dan Vhia bagi Fanya lebih antusias lagi.
            “ahh, gak lah, gue ngajar sekarang di Sebatik, pulang kesini karena lagi libur aja, loe sendiri gimana, kapan balik kesini?”
            Nino mendengar bagian ini lebih antusias, siapa tau ada informasi penting yang menarik baginya.
            “loe masih inget Nino kan ?” Fanya melihat jahil kearah Nino, yang dipandang hanya bisa pura-pura menyeruput kopi sambil memandang keluar café .
            “gue yang manggil dia kesini”ucap Nino, dalam hati. Tak mungkin ia mengeluarkan saat ini, yang dia harap hanya bisa menjadi Hollow man yang tak terlihat.
            “pasti, siapa yang bisa lupa pada cinta pertamanya.” Ivy menjawab sambil tersenyum kearah Nino yang hamper menyemburkan kopinya, “beberapa hari yang lalu dia ngedekatin gue sambil hujan-hujanan dekat halte,”
            “jujur amat sih nie orang” kata Nino, dalam hati.
            “ihh masih loe suka sama orang kek dia,”
            “penghianat.” timpal Nino lirih, menyipitkan mata kearah Fanya, ada sengatan-sengatan listrik yang seang beradu di antara mereka, hanya orang beriman  yang tidak bisa melihatnya.
            “gue mah ogah, udah dibikin malu”
            “gak lah, gara-gara dia gue sadar apa yang harus gue lakuin, meski dulu gue harus pindah karena harus ikut papa pindah tugas.”
            “see,” Nino tersenyum kecil.
            “ih senyum, merasa dibela yah,” Nino segera menarik jilbab Fanya dengan gemesnya, sebelum kejahilannya semakin membuatnya hancur berkeping-keping menahan malu.
            “bahas yang lain aja kenapa sih”
            “jadi kamu Vhia?” Fanya sudah pulang, dengan paksa. Nino mengirim sepupunya pulang dengan taksi dan sekarang dia mengantar Vhia dengan mobilnya.
            “aku bisa jadi apapun yag kamu mau,” Vhia tersenyum jahil membuat Nino speechless .
            “kamu kuliah apa sih, kok pintar banget nge gombal,”
            “aku, hmm.. ada deh, hahaha.”
            Nino menatap Vhia yang tersenyum lepas di sampingnya.
            “maafin aku tentang yang dulu, aku gak bermaksud,,”
            “maaf kenapa?”
            “karena nganggap rasa suka mu hanya lelucon.”
            Vhia tersenyum sambil menatap ke depan, “kadang kita harus berjuang untuk cinta kita, berubah menjadi yang lebih baik demi orang yang kita suka sebenarnya kita lakukan untuk kebaikan kita sendiri,” Vhia mengedipkan mata, membuat Nino semakin tak bisa berkata-kata.
            “ohh jadi kamu diet sampai seperti sekarang,bukan seutuhnya demi aku,” ucap Nino mencoba menenangkan hatinya yang bergemuruh.
            “iihhh gak lah, aku lakuin ini bukan buat kamu, bukan buat aku tapibuat kita”
            SKAKMAT !!!